Sunday, November 1, 2009

Indonesia Negara Agraris, Benarkah ?

Senin, 22 Maret 1999
Modernisasi Pertanian Merupakan Harga Mati

SELAMA 20 tahun terakhir telah terjadi perubahan, dan kemajuan yang sangat pesat di desa-desa, baik dalam bentuk fisiknya, maupun visi dan persepsi masyarakat desa tentang kehidupannya.

Gambaran tentang desa sebagai komunitas yang tenang, yang jauh dari gejolak perubahan, telah berubah. Banyak desa yang tidak lagi merupakan komunitas yang berorientasi pada kegiatan pertanian subsisten, tetapi telah berubah menjadi komunitas yang berorientasi komersial. Perkembangan itu positif, dalam arti dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan petani di desa.

Perubahan kehidupan di desa yang sebenarnya menguntungkan itu, karena dibarengi dengan proses penyempitan lahan garapan keluarga petani, mengakibatkan teknologi budidaya pertaniannya tidak berkembang, dan meluasnya budidaya pertanian subsisten.

Di samping oleh daya tarik bidang-bidang lain yang lebih menjanjikan kesejahteraan, majunya cara berpikir sebagai hasil dari pendidikan dan statisnya budidaya pertanian kita itu telah menjadi penyebab ditinggalkannya bidang pertanian oleh banyak generasi muda yang produktif.

Komunitas desa sedang berubah. Orientasi komersial penduduk di pedesaan semakin tinggi. Tuntutan peningkatan kesejahteraan semakin kuat. Generasi muda petani yang terdidik enggan berusaha tani dengan teknologi cangkul.

Perlu penyegaran dalam pembangunan desa dan pembangunan pertanian. Tanpa itu, maka pembangunan pedesaan akan bertentangan dengan kecenderungan yang sedang berlangsung, yaitu masyarakat yang berkeinginan sangat besar mengejar kesejahteraan yang lebih tinggi.

Mekanisasi menjadi tuntutan sekaligus kebutuhan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas hasil budidaya pertanian. Luas lahan usaha tani setiap kepala keluarga (KK)-nya juga perlu memenuhi skala ekonomi yang menjanjikan kesejahteraan. Orientasi pada subsistensi harus diubah menjadi orientasi agrobisnis.

Penduduk desa juga semakin menyadari bahwa nilai tambah tertinggi terletak pada proses pascapanen, sehingga outputdesa sebagai penghasil bahan baku perlu ditingkatkan dengan melengkapi agroindustri di desa, agar desa menjadi penghasil industri pertanian. Membangun desa pada waktu ini selayaknya berorientasi pada pembangunan suatu unit agrobisnis.

Wawasan yang memadai pada para elite di desa, kepala desa, dan tokoh-tokoh di desa. Inilah salah satu kendala besar. Dalam banyak hal, tokoh-tokoh di desa belum mampu mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada di desanya sendiri. Dalam rangka merangsang wawasan agrobisnis di desa, pengusaha-pengusaha swasta di luar desa perlu didorong bekerja sama dengan penduduk desa mengembangkan berbagai potensi usaha tani yang diperlukan pasar, melalui suatu kerja sama kemitraan.


Kemitraan haruslah berupa kerja sama yang memberdayakan petani, dan bukan yang membuat ketergantungan.

Aspek lain yang juga merupakan hambatan dalam pengembangan pertanian adalah keterbatasan pembiayaan. Bagi dunia usaha dan perbankan, investasi di bidang pertanian dianggap berisiko tinggi dengan internal rate of returnyang rendah.

Luas lahan berkurang
Di banyak negara maju di dunia, ada kecenderungan menurunnya jumlah petani dan bertambah luasnya daerah-daerah pertanian; menghasilkan lahan garapan petaninya semakin luas. Pengguna traktor dan alat/ mesin pertanian yang lebih canggih dengan kekuatan di atas 250 PK menjadi semakin umum, menjadikannya lebih produktif dan lebih efisien.

Di negeri Belanda, sebelum Perang Dunia II, rata-rata para petaninya memiliki lahan pertanian seluas 10 hingga 15 hektar. Kini setelah polder-polder baru dibuka, rata-rata satu keluarga petani memiliki 70 hingga 100 hektar lahan pertanian.

Yang terjadi di Indonesia sebaliknya; jumlah petaninya-walaupun secara persentase menurun-secara absolut meningkat, sementara itu luas lahan pertaniannya berkurang. Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), satu juta hektar daerah pertanian di Pulau Jawa telah berubah fungsi menjadi nonpertanian, menjadi real estat, industri estat, jalan, waduk dan lain-lain, dan setiap tahun 40.000 hektar lahan pertanian berubah fungsi. Diperkirakan pada awal abad ke-21 nanti akan meningkat menjadi rata-rata sekitar 45.000 ha per tahun.

Tanpa membangun produktivitas, efisiensi dan daya saing yang tinggi, kita akan tak mampu menang dalam persaingan global; bukan saja di pasaran internasional, tetapi juga di pasar dalam negeri sendiri.

Sudah sejak lama dipahami bahwa efisiensi serta peningkatan kualitas dan produktivitas hasil pertanian hanya mungkin dicapai jika petani-petani subsisten dihapus dan dibangun pertanian yang pada tingkat keluarga, berskala ekonomi yang memadai.

Memang tidak bisa lain, kita harus mengambil langkah-langkah yang sistematis untuk meningkatkan produktivitas petani dan meningkatkan kualitas budidaya pertanian. Salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi hal itu adalah dengan reorientasi sasaran dari peningkatan produksi ke peningkatan pendapatan petani.

Kunci strategisnya adalah memberikan kepada petani lahan pertanian yang cukup luas. Kebijakan itu ditempuh oleh hampir semua negara yang sukses dalam bidang pertanian, seperti Belanda, juga Australia, Argentina, Brasil, dan lain-lain.

Pembangunan areal pertanian baru yang luas di luar Pulau Jawa untuk dibagikan kepada buruh-buruh tani (petani tanpa lahan) dan petani-petani gurem (petani berlahan sempit), serta para pedagang berpindah dan perambah hutan, yang diikuti dengan bimbingan budidaya pertanian secara modern; mekanisasi, berorientasi agrobisnis, dilengkapi dengan agroindustri, merupakan jawaban atas perkembangan masyarakat pedesaan kita.

Meskipun sejak Pelita I sampai dengan IV pemerintah telah memberikan perhatian yang sangat besar dan telah berhasil meningkatkan produksi padi sehingga bangsa Indonesia mampu berswasembada beras. Namun kita belum mampu mengubah struktur dan sistem pertanian Indonesia, masih banyak yang subsisten.

Peningkatan produksi padi melalui Suprainsus tidak banyak melahirkan petani yang memiliki usaha tani berskala ekonomi kecil, apalagi menengah. Oleh karena itu, perlu pula upaya untuk melahirkan pengusaha-pengusaha tani berskala menengah dengan penuh kegairahan (termotivasi) mengolah lahan usaha seluas lima hingga 25 hektar secara efisien dan modern. Para petani maju itu akan membina petani kecil di sekitarnya, dan secara keseluruhan merupakan jaminan bagi tersedianya pangan dan produk pertanian lainnya bagi kebutuhan masyarakat Indonesia, dan terbangunnya kemampuan pertanian untuk bersaing di dunia Internasional.

Daya saing rendah
Berdasarkan penelitian World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia pada tahun 1996 menduduki peringkat ke-41 dari 46 negara terkemuka di antara sekitar 200 negara di dunia.

Jepang berada pada urutan ke-4, setelah AS, Singapura, dan Hongkong. Negara-negara ASEAN lainnya (kecuali anggota-anggota yang baru) berada di atas Indonesia; Malaysia 23, Thailand 30, dan Filipina 31. Untuk masa krisis sekarang ini, daya saing dan produktivitas kita menurun, karena di mana-mana orang berdiskusi politik, tidak bekerja produktif.

Rendahnya daya saing kita juga dapat dilihat dari produk hasil pertanian. Walaupun Indonesia adalah negara agraris, yang sekitar separuh dari angkatan kerjanya bekerja di sektor pertanian, namun kita masih mengimpor banyak sekali hasil pertanian. Setiap tahun kita mengimpor beras sekitar dua juta ton, jagung satu juta ton, kedelai 0,8 juta ton, gaplek 0,9 juta ton, gandum 4,5 juta ton, gula 400.000 ton, dan ternak sapi setara dengan 375.000 ekor, terdiri dari 290.000 ekor sapi hidup dan 22.000 ton daging ekuivalen dengan 85.000 ekor.

Ditjen Peternakan melaporkan, kalau kita tidak meningkatkan pertambahan ternak sendiri (breeding), bisa-bisa impornya mencapai 700.000 ekor sapi di tahun 2000.

Impor beberapa komoditas pangan yang masih kita lakukan itu disebabkan oleh belum efisien dan belum produktifnya usaha pertanian. Penyebab yang mendasar adalah karena rata-rata luas lahan usaha tani per keluarga tani semakin sempit, teknologi budidaya pertaniannya sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien, serta sulit menerapkan teknologi maju, tingkat ketergantungan yang tinggi pada alam. Juga iklim usaha yang tidak kondusif, sehingga produktivitasnya rendah dan karenanya petaninya tidak sejahtera. Itulah akar permasalahan kemiskinan di sektor pertanian kita.

Selama 10 tahun (1985-1994), berdasarkan laporan Bank Dunia (1995), secara relatif jumlah tenaga kerja di sektor pertanian hanya berkurang sebesar 1 persen dari 56 persen menjadi 55 persen, dan secara absolut tetap bertambah, dari 38,74 juta orang menjadi 48,76 juta orang.

Sementara itu, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB selama kurun waktu tersebut menurun jauh lebih besar (7,8 persen), yaitu dari 25,2 persen pada tahun 1985 menjadi 17,4 persen pada tahun 1994. Angka-angka itu menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian kita secara relatif menurun. Dari tahun 1961 sampai 1995, PDB sektor pertanian menurun 34,6 persen, sektor industri meningkat 17,4 persen, sektor jasa meningkat 22,4 persen.

Kondisi yang demikian itu antara lain disebabkan oleh semakin sempitnya rata-rata luas penguasaan tanah pertanian per rumah tangga petani di Indonesia, yang menurut Sensus Pertanian 1983 dan 1993, menurun dari 0,93 ha menjadi 0,83 ha. Di luar Jawa menurun dari 1,38 ha menjadi 1,19 ha, dan di Jawa menurun dari 0,58 ha menjadi 0,47 ha, bahkan semakin banyak petani yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,1 ha karena jumlah petani di Jawa secara absolut bertambah, sementara areal pertanian di Jawa berkurang.

Makin besarnya jumlah absolut tenaga kerja pertanian dan semakin sempitnya rata-rata luas penguasaan tanah pertanian ini melahirkan jumlah petani gurem dan buruh tani yang makin besar yang membuktikan tidak sejahteranya petani-petani kita, yaitu dari 9,53 juta orang pada tahun 1983 menjadi 10,94 juta orang pada tahun 1993. Jumlah tersebut merupakan 51,7 persen dari 21,18 juta rumah tangga tani di negara kita (Sensus Pertanian 1993). Jumlah yang cukup besar itu tentu saja merupakan beban ekonomi di pedesaan.

Kondisi ini diperburuk lagi oleh belum siapnya industri hasil pertanian (agroindustri) di perdesaan untuk menyerap tenaga kerja petani miskin itu. Meningkatnya jumlah petani gurem ini lebih parah terjadi di Jawa, yaitu dari 7,4 juta keluarga pada tahun 1983 menjadi 8,1 juta keluarga pada tahun 1993, meningkat 9,4 persen selama 10 tahun. Di luar Jawa, peningkatan dalam masa yang sama relatif jauh lebih tinggi (33,4 persen), walaupun secara absolut jauh lebih kecil dari 2,1 juta keluarga menjadi 2,8 juta keluarga.

Untuk meningkatkan kesejahteraan para petani gurem dan buruh tani melalui peningkatan produktivitasnya, sekaligus meningkatkan produksi hasil pertanian, pembukaan areal-areal pertanian baru yang luas di luar Jawa dan dibagikan kepada para buruh tani, petani gurem, perambah hutan, peladang berpindah, adalah pilihan yang strategis. Dalam rangka itu, sekaligus perluasan areal perkebunan karet, kelapa sawit, cokelat, jambu mete, kopi, dan lain-lain. Dalam masa resesi sekarang ini, kegiatan ini juga dapat menyerap tenaga kerja yang masih menganggur, sekaligus hasilnya merupakan sumber devisa.

Pertanian modern
Tidak ada pilihan lain bagi kita, selain berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan pertanian yang modern dengan mengerahkan sumber daya yang lebih besar untuk membangun pertanian yang modern, yang berorientasi pada agrobisnis/agroindustri sejalan dengan industrialisasi. Modernisasi pertanian sudah harga mati.

Strategi ini akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membuka peluang yang lebih baik untuk perubahan struktur ekonomi, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan serta pemerataannya, dan kelestarian lingkungan hidup; yang merupakan ciri-ciri dari pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Modernisasi pertanian memerlukan beberapa prasyarat yang mendasar, yaitu:

1. Pemberian kepada setiap keluarga petani luasan lahan yang memenuhi skala ekonomi (mikro) untuk menjadi sejahtera.
2. Mekanisasi dalam rangka optimalisasi tenaga kerja;
3. Pembangunan pertanian dilakukan secara agrobisnis untuk menjadikan para petani berpikir dan bekerja secara ekonomis, agar dapat meningkatkan kesejahteraannya;
4. Meningkatkan keseimbangan antara kesempatan kerja pertanian dan kesempatan kerja di luar pertanian di desa-desa melalui pembangunan agroindustri di desa, agar ketahanan ekonomi rakyat meningkat;
5. Membangun desa-desa menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi.

Strategi ini sangat tepat untuk diterapkan dengan memanfaatkan sumber daya yang kita miliki dan kuasai, yang berupa lahan yang sangat luas yang belum dibuka, maupun yang telah dibuka dengan berbagai tanaman dan komoditasnya yang telah ada; juga potensi pengembangan peternakan dan lautan yang luas dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Untuk mendukung hal itu alokasi dana dari pemerintah untuk membuka areal pertanian baru perlu diperbesar serta meningkatkan akses petani kepada pasar dan modal; politik dan kelembagaan harus mendukung.

Keberhasilan program pertanian sangat ditentukan oleh tingkat keberhasilan kita dalam membangun wilayah-wilayah pertanian baru yang modern, yang dibangun oleh petani-petani modern dengan usaha tani yang juga modern; pertanian yang progresif dan dinamis, fleksibel, menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, dan produktif.

Membangun petani yang berorientasi pasar, berorientasi pada keuntungan, mampu merencanakan dan menentukan pilihan terbaik bagi usaha yang dikembangkannya dengan mengadakan penyempurnaan terus-menerus atas teknologinya, agar usahanya menjadi efisien. Kita memang perlu segera, dengan cara sistematis, konsisten, melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam bidang pertanian, kalau ingin berhasil dalam persaingan pasar global ini. Dunia di depan kita ini membutuhkan produk pertani-an yang bermutu tinggi, dalam jumlah yang besar, dengan harga yang kompetitif. Peluang itu harus dan dapat kita ambil.

( * Siswono Yudohusodo, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) )




























Rabu, 21 September 2005

Indonesia Tak (Lagi) Kaya Sumber Lahan Pertanian
Oleh: Sumarno

Sudah merdeka selama 60 tahun, bangsa Indonesia selalu dirundung kekurangan bahan pangan. Mesti mengimpor bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, kacang tanah, terigu, gula, daging, susu, buah, dan sayuran untuk mencukupi kebutuhan nasional.

Walaupun mengekspor produk bahan pangan, secara keseluruhan posisi neraca ekspor-impor pangan masih negatif.

Indikasi masih adanya kekurangan dalam penyediaan bahan pangan nasional juga ditunjukkan oleh rendahnya kualitas gizi sebagian besar masyarakat lapisan bawah. Contoh yang paling aktual adalah terjadinya busung lapar di berbagai daerah. Walaupun dalam hal ketahanan pangan rakyat secara individu sering menjadi perdebatan antara pilihan kelimpahan produksi pangan nasional dan kemampuan ekonomi rakyat untuk membeli pangan, namun adalah menjadi tugas pemerintah untuk mencukupi ketersediaan pangan nasional melalui berbagai kebijakan dan program.

Kehidupan bangsa Indonesia yang sebagian besar berusaha di bidang pertanian mengisyaratkan pentingnya memperkuat dan mengembangkan bidang ini sehingga Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangannya, dan bahkan meningkatkan ekspor produk pertanian bahan pangan. Untuk komoditas yang biasa diproduksi secara mekanisasi ekstensif seperti kedelai, jagung, dan gula, memang sukar untuk menyamai tingkat efisiensi produksi para petani di negara-negara maju. Namun untuk membiarkan pasar nasional komoditas tersebut didominasi produk impor juga akan mematikan usaha pertanian rakyat tradisional di pedesaan.

Sumber daya lahan terbatas
Bayangan sebagian besar masyarakat bahwa Indonesia sangat luas dan subur sebenarnya tidak sesuai kenyataan. Tanah yang subur hanya terdapat di sekitar gunung berapi dan lembah sungai, dan hampir seluruhnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian. Tanah yang belum diusahakan bukanlah tanah yang subur yang akan memerlukan masukan (input) tinggi untuk mengubahnya menjadi lahan pertanian.

Lahan pertanian tergarap untuk usaha tanaman bahan pangan yang kini tersedia hanya 7,8 juta hektar lahan basah dan 6,43 juta hektar lahan kering. Sayangnya, lebih dari 80 persen bahan pangan kita masih dihasilkan dari lahan basah yang relatif sempit tersebut. Dari lahan basah tadi, yang memiliki prasarana irigasi teknis hanya 2,21 juta hektar; lahan beririgasi setengah teknis dan irigasi pedesaan sekitar 2,6 juta hektar; dan sisanya lahan tadah hujan, rawa lebak, dan lahan pasang surut (Tabel 1). Sebagai perbandingan, Vietnam yang jumlah penduduknya hanya sekitar 80 juta jiwa memiliki lahan basah seluas 7,5 juta hektar. Thailand yang berpenduduk sekitar 65 juta orang memiliki luas lahan pertanian 31,8 juta hektar. China yang berpenduduk 1,3 miliar ternyata memiliki lahan pertanian yang sangat luas, mencapai 143,6 juta hektar.

Ketersediaan lahan tergarap (cultivated farm land) per kapita dapat dijadikan indikator kekuatan daya dukung sumber daya lahan pertanian terhadap kecukupan penyediaan pangan nasional. Ditinjau dari indikator tersebut, Indonesia memang tergolong negara pertanian yang memiliki daya dukung lahan pertanian sangat lemah.

Apabila kita pakai lahan pertanian basah sebagai dasar perhitungan, ketersediaan lahan Indonesia hanya 354 meter persegi per kapita. Kalau lahan kering yang menyediakan bahan pangan pokok kurang dari 20 persen diikutkan sebagai dasar perhitungan, ketersediaan lahan per kapita hanya 646 meter persegi per kapita tetap tergolong terendah di dunia (Tabel 2).

Negara-negara pertanian di dunia pada umumnya memiliki ketersediaan lahan di atas 1.000 meter persegi per kapita. Dari data ini kita menjadi tahu, mengapa Indonesia selalu kekurangan produksi bahan pangan, walaupun berbagai program dan proyek telah dilaksanakan. Kita juga menjadi tahu mengapa India dan China yang jumlah penduduknya begitu besar dapat berswasembada pangan, dan mengapa Thailand dan Vietnam dapat mengekspor bahan pangan.

Lebih baik menyadari akan keterbatasan tersedianya sumber daya lahan pertanian sehingga kita tahu persis apa yang harus kita lakukan daripada merasa memiliki lahan luas yang subur tetapi tidak nyata. Selama ini kita merasa tidak kekurangan suatu apa, tetapi nyatanya sulit untuk pencukupan pangan nasional.

Perlu tambahan lahan
Terbetik kabar bahwa pemerintah akan menambah luasan pertanian. Merupakan kebijakan yang sangat tepat bahwa dalam revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan yang telah dicanangkan, pemerintah akan membuka lahan basah dan lahan kering hingga masing-masing mencapai 15 juta hektar. Walaupun target ini sangat ambisius, namun adanya kesadaran menyediakan lahan garapan pertanian (cultivated farm land) secara luas guna pencukupan produksi bahan pangan itu perlu mendapatkan dukungan semua pihak.

Pertanyaannya, kapan tekad tersebut dapat diwujudkan. Masih perlu dijabarkan lagi berapa hektar rencana penyediaan lahan per tahun, di mana akan dibuka, dan oleh siapa, bagaimana peruntukan lahan tersebut (untuk usaha produksi apa dan untuk siapa), bagaimana cara pemilikan lahan oleh penggarapnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu disediakan jawabannya secara transparan dan jelas.

Dari segi manfaat, penambahan lahan akan menjamin kecukupan produksi bahan pangan, termasuk daging dan susu, bila memungkinkan, menyediakan lapangan pekerjaan, membangun ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan, dan memberikan dampak perkembangan ekonomi bagi wilayah terisolir di luar Jawa. Yang tidak kalah pentingnya dari pembukaan lahan baru tersebut adalah mengurangi beban berat bagi lahan pertanian di Pulau Jawa yang sudah dikelola terlalu intensif sehingga sering tidak lagi mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

Hanya dengan menambahkan luas lahan pertanian baru itulah kekurangan produksi pangan nasional dapat diatasi secara berkelanjutan. Upaya yang lain adalah penyelesaian sementara atau program tambal sulam. Kita tinggal tunggu pelaksanaannya.

Sumarno Mantan Dirjen Hortikultura, Departemen Pertanian

























Suara Karya, January 11, 2006
Optimalkan bantuan bagi petani

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,147 juta orang, dan 21,265 juta (58,8%) di antaranya bekerja di sektor pertanian. Meski dengan data yang secuil itu saja, dipastikan segera terlintas dalam benak siapa pun bahwa para petani perlu mendapat perhatian dan pemerintah perlu melakukan tindakan pemihakan kepada mereka. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bentuk perhatian dan pemihakan yang perlu diberikan agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan?

Tidak jarang dan malah sering, tawaran pendapat untuk menolong orang miskin tidak didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Malah yang lebih tragis lagi, orang miskin atau mereka yang tergolong kecil dijadikan sebagai barang dagangan atau umpan untuk mendapatkan sesuatu. Masalah impor beras dan masalah pemakaian formalin oleh para pelaku usaha adalah contoh yang paling aktual. Ada pendapat yang mengatakan bahwa diungkapnya pemakaian formalin, terutama oleh industri makanan, akan memengaruhi kegiatan usaha sekitar 8,5 juta pengusaha UKM (usaha kecil dan menengah) dan mikro. Pendapat lain mengatakan bahwa keputusan pemerintah mengimpor beras menunjukkan bahwa pemerintah tidak sensitif terhadap nasib petani atau tidak memerhatikan nasib petani.

Pendapat yang dikemukakan kelihatannya indah dan mereka yang mengucapkannya dapat dianggap sebagai pejuang rakyat kecil atau petani. Tetapi kalau dikaji lebih jauh, gambarannya akan lain.

Seandainya kita beranggapan bahwa rata-rata konsumen dari setiap UKM dan usaha mikro itu adalah 50 orang, maka jumlah penduduk Indonesia akan tercatat menjadi 400 juta orang. Dan, kalau UKM dan usaha mikro secara rata-rata hanya melayani 25 orang maka usaha yang bersangkutan sangat sulit atau tidak mungkin hidup dan/atau untuk dikembangkan. Dengan kajian yang sangat dangkal ini secara jelas kita dapat berkesimpulan bahwa pendapat tersebut mengada-ada atau asal dikemukakan tanpa didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Dan, kalau pernyataan tersebut ditanggapi secara serius bukan tidak mungkin akan lahir kebijakan yang justru merusak bangsa Indonesia.

Keputusan pemerintah mengimpor beras belakangan ini mendapat sorotan dan menimbulkan perdebatan dan polemik yang berkepanjangan. Sekarang tampaknya sudah saatnya perdebatan atau polemik diakhiri melalui suatu solusi yang paling minimal risikonya serta paling maksimal manfaatnya.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bila produksi (penawaran) melebihi kebutuhan (permintaan) maka harga kebutuhan tersebut akan mengalami penurunan, dan sebaliknya bila kebutuhan lebih besar dari jumlah produksi maka harga kebutuhan tersebut akan meningkat. Atas dasar kaidah ini, beberapa alternatif intervensi dapat dilakukan agar dapat meraih sasaran yang dikehendaki.
Di masa lalu ketika sebagian besar budget rumah tangga diperuntukkan membeli sembilan bahan pokok yang di dalamnya termasuk beras sebagai komponen utama, pemerintah berusaha agar harga beras stabil. Fluktuasi harga beras dapat memicu terjadinya instabilitas politik sehingga kejadian tersebut harus dihindarkan. Yang penting mendapat perhatian dan perlu dipertahankan adalah "nilai tukar petani" secara terus menerus harus mengalami perbaikan. Dengan memberi perhatian yang besar ke sektor pertanian, Indonesia berhasil menjadikan dirinya sebagai negara yang sebelumnya pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang surplus beras.

Perubahan status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada ternyata dibarengi perubahan-perubahan lainnya. Kalau pada tahun 1993 jumlah rumah tangga pertanian adalah 20,8 juta maka pada tahun 2003 jumlahnya telah mencapai 25,6 juta rumah tangga yang berarti secara rata-rata tumbuh 2,1% setiap tahun. Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian padi/palawija mencapai 74,4% dari seluruh rumah tangga pertanian pengguna lahan. Dengan kata lain, rumah tangga pertanian didominasi oleh rumah tangga padi/palawija.

Yang menarik perhatian dan sekaligus memprihatinkan adalah bahwa jumlah petani "gurem", yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4% per tahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Dengan perkembangan tersebut maka secara nasional jumlah rumah tangga petani gurem sudah lebih banyak dari rumah tangga petani non-gurem.

Di pulau Jawa gambarannya lebih pincang. Terdapat 9,990 juta keluarga petani gurem (71,53%) dari sebanyak 13,965 juta rumah tangga pertanian. Dengan produksi gabah kering giling sekitar 4,538 ton per ha maka dengan mudah dapat diketahui bahwa kehidupan petani gurem sangat sulit. Dengan beranggapan rata-rata setiap rumah tangga pertanian terdiri dari 4 (empat) orang dan konsumsi beras per kapita sekitar 120 kg per tahun, dapat dihitung bahwa jumlah beras yang dapat dijual oleh petani gurem ke pasar setelah dikurangi kebutuhan konsumsi sendiri relatif kecil.

Menyimak data yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan perberasan atau pertolongan kepada petani secara tepat sasaran dengan data yang rinci, sangat dibutuhkan. Sekarang kita perlu mengetahui secara akurat, berapa banyak jumlah petani yang mampu memroduksi padi atau beras yang melebihi kebutuhan konsumsinya setelah memperhitungkan biaya produksi.

Dengan kata lain, sebelum mengambil suatu kebijakan perlu diketahui secara akurat dan rinci menurut wilayah, berapa banyak rumah tangga petani yang tergolong defisit, berimbang, dan surplus. Bila jumlah yang disebut pertama (petani defisit) jauh lebih banyak dari petani surplus maka kenaikan harga padi/beras akan berakibat jumlah penduduk yang bertambah buruk tingkat hidupnya akan lebih banyak daripada mereka yang bertambah baik tingkat hidupnya. Pesan dari data seperti ini, "hati-hati menaikkan harga". Kebijakan yang paling tepat adalah meningkatkan produktivitas para petani dengan menjaga harga sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Dengan uraian ini kiranya menjadi jelas bahwa dari kaca-mata ekonomi, petani di Indonesia perlu dilihat dan dikategorikan menurut kategori tertentu, seperti kemampuan produksi dan luas lahan yang dikuasai. Dengan cara pandang yang lebih rinci, kita tidak dengan mudah terkecoh oleh pendapat yang seolah membela petani padahal akibatnya justru sangat fatal bagi petani. Selanjutnya, kita akan mengetahui kebijakan stabilisasi harga dengan menggunakan instrumen impor, misalnya, adalah kebijakan yang paling tepat dan efektif dilaksanakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang sebelumnya dapat dikategorikan baik menjadi buruk karena dinodai oleh para spekulan atau pelaku usaha yang hanya mau mengeruk keuntungan. Sekarang juga kita perlu kritis terhadap usul agar pemerintah membeli beras dari petani lokal. Usul tersebut adalah baik bila beras yang dibeli adalah produksi lokal. Tetapi kita hendaknya tidak menutup mata terhadap kemungkinan adanya keinginan pengusaha tertentu yang menimbun beras (hasil impor) agar berasnya dibeli pemerintah.

Sekarang sudah waktunya pemerintah dengan tegas dan tegar memberi ganjaran pahit bagi para spekulan yang mempermainkan nasib penduduk miskin yang berada di sektor pertanian.

Selanjutnya, sekarang harus dirumuskan kebijakan pertanian terutama yang menyangkut beras yang benar-benar memihak pada petani. Kata kunci untuk itu adalah tersedianya data rinci yang dibutuhkan serta terciptanya koordinasi atau sinergi antara departemen terkait.

















Hasil Pertanian Indonesia Selalu Jatuh
Sempitya Lahan tak Bisa Jadi Alasan

Mlati, Bernas
Produk pertanian Indonesia sampai saat ini selalu kalah bersaing jika dibandingkan dengan negara lain. Sebab, petani kita selalu bercocok tanam dengan pola tradisional dan kualitas hasil pertanian tak pernah mengalami peningkatan.
Akibatnya, dalam persaingan di pasar internasional, hasil pertanian Indonesia selalu jatuh. Untuk itu, sekarang ini perlu adanya perbaikan cara bercocok tanam agar kualitas hasil pertanian dapat meningkat.
Pembantu Rektor (Purek) II, Universitas Janabadra, Ir Ilham Purnomo mengatakan bahwa dengan memperbaiki pola bercocok tanam itu diharapkan dapat meningkatkan harga jual. Tetapi, sampai saat ini petani senantiasa mengalami dilema karena sempitnya lahan pertanian mengakibatkan produksi per satuan luas juga sangat kecil.
"Selama ini petani kita selalu beralasan bahwa lahan mereka sempit. Untuk itu, lewat kebun percobaan ini kita mencoba membuktikan bahwa lahan yang sempit itu bukan kendala untuk meningkatkan produksi pertanian lewat sistem diversifikasi pertanian atau perbaikan pola bercocok tanam," ujar Ilham kepada Bernas usai kegiatan Pelatihan Agrobisnis di lokasi Kebun Percobaan UJB, Mlati, Sleman kemarin.
Selanjutnya, Ilham mengatakan bahwa lahan sempit se- sungguhnya tak dapat selalu dipakai alasan pemaaf. Sebab, banyak juga negara lain yang lahan pertaniannya juga sempit tetapi hasil pertaniannya justru lebih bagus dari petani kita. Bahkan, produktivitasnya justru lebih tinggi dari petani kita. Oleh karena itu, dengan semakin sempitnya lahan pertanian kita sekarang ini, tak ada jalan lain kecuali memperbaiki kualitas produksi pertanian.
Ditegaskan juga oleh Ilham, bahwa kebijakan pemerintah yang akan merubah pola pembangunan yang bertumpu pada industri, lambat laun akan mendorong terjadinya suksesi pertanian. Jika lahan pertanian semuanya berubah menjadi pabrik, maka ada kemungkinan negara ini tak akan mampu lagi memproduksi pangan.
"Jika itu yang terjadi maka bayangkan kita mau makan apa ?" tandas Ilham.
Ditambahkan juga, bahwa ancaman suksesi pertanian itu semakin tak terbendung karena profesi petani sekarang ini tak lagi menarik minat generasi muda. Sebab mereka selalu mengindentikan profesi petani dengan kemiskinan. Padahal, basic bangsa ini adalah pertanian, sehingga Ilham yakin Indonesia akan semakin terpuruk jika menitikberatkan pembangunan pada sektor industri.
Pemerintah, tanpa menyadari bahwa kebijakan yang salah itu juga berdampak pada sektor pendidikan yang semakin lama juga semakin tak jelas arahnya. Dengan demikian, perlu adanya perubahan sistem sehingga generasi muda mampu memandang bahwa sektor pertanian itu punya masa depan yang sangat baik.
"Tingkat pemahaman petani kita sekarang ini kan sangat rendah. Untuk itu, kepedulian perguruan tinggi sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman petani dalam bercocok tanam," ujar Ilham. (lis)

[ekonomi-nasional] Impor Pangan dan Pengembangan Pertanian Indonesia
A Nizami
Fri, 26 Aug 2005 01:53:46 -0700

Dari berita di bawah kita harusnya prihatin. Kita bias memproduksi pangan, namun produksinya tidak mencukupi. Akibatnya kita harus menghamburkan devisa milyaran dollar untuk impor pangan. Kita impor beras sebesar 5,8 juta ton per tahun, jagung 2 juta ton per tahun. Kedelai impor Rp 3 trilyun lebih per tahun. Padahal kalau pemerintah mau mengembangkan lahan pertanian, akan tersedia lapangan kerja bagi jutaan petani dan keluarganya. Rupiah kita juga akan menguat, karena kita tidak perlu dollar lagi untuk impor makanan.

Swasembada Kedelai dan Jagung Masih Sebatas Mimpi
JAKARTA ? Teriknya matahari tidak menyurutkan penduduk Desa Darawolong, Kabupaten Karawang, Jawa Barat untuk menyaksikan panen perdana kedelai yang dilakukan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S Soewandi. Di atas tanah seluas 75 ha, kedelai yang pertama kali ditanam pada pertengahan Juli 2003 menghasilkan panen yang dianggap sangat berhasil. Panen kedelai varietas lokal ini mampu mencapai 3,6 ton/ha. Padahal target sebelumnya cuma 3 ton/ha. Menanam kedelai merupakan sesuatu yang baru bagi daerah lumbung beras ini. ?Kami dulu sulit meminta dan meyakinkan penduduk agar mau memberikan tanahnya ditanami kedelai setelah panen padi,? ujar Ata Sukarta, salah seorang penggerak kelompok tani di desa Darawolong, Selasa (14/10). Penanaman kedelai ini dijamin tidak akan mengganggu tanaman padi. Karena rumusannya penanaman baru bias dilakukan setelah panen padi dua kali. Biasanya tanah penduduk dibiarkan menganggur apabila panen selesai,namun kali ini tanah terus berproduksi. Keberhasilan panen perdana ini dengan konsep kemitraan dengan dunia usaha, mendorong Menperindag untuk memikirkan meneruskan proyek ini menjadi 6000 ha. Daerah-daerah lain juga akan ikut dilibatkan. Pemicunya, target swasembada kedelai! Tidak hanya kedelai, komoditi jagung masuk dalam program peningkatan produksi ala Menperindag. Kalau kedelai di Kerawang maka jagung di daerah Kebumen. Diharapkan pendapatan petani juga ikut terdongkrak bila produksi semakin meningkat. ?Targetnya tahun 2005 swasembada jagung dan kedelai, produksi akan mampu memenuhi semua kebutuhan industri dan masyarakat,? ujar Rini Soewandi optimis. Ironis memang setelah pernah mengecap produksi jagung dan kedelai dalam jumlah besar, Indonesia kini menjadi importir produk kedua komoditi itu dengan nilai triliunan rupiah. Sadarkah kita, bila kecap, tahu atau tempe yang kita konsumsi bisa jadi dari kedelai impor. Jagung dan kedelai, dua komoditi yang paling sangat tinggi impornya di samping gula dan beras. Setiap tahun Indonesia mengimpor biji kedelai tak kurang 1,1
juta ton dan jagung 1,3 juta ton. Bahkan bungkil kedelai Indonesia merupakan net importir dengan jumlah impor rata-rata 1 juta ton.Padahal, kedua komoditi ini dianggap sangat vital bagi ketahanan pangan. Namun ternyata produksi jagung dan kedelai tidak mampu mengimbangi laju peningkatan kebutuhan masyarakat. Seiring pertambahan pendudukdengan kebutuhan jagung dan kedelai melonjak sementara peningkatan produksi berjalan terseok-seok.




Potensi Pasar Impor
Banyak sebenarnya program yang pernah dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan itu tapi semuanya berlalu begitu saja. Di antaranya Program Pengapuran, Supra Insus, Opsus kedelai dan program yang paling terkenal ketika era pemerintahan Soeharto, yakni Program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi Kedelai Jagung) menuju swasembada 2001. Tetapi, sampai saat ini pun Indonesia belum mampu melakukan swasembada komoditi itu. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo mengatakan, ke depan akan terjadi lonjakan kebutuhan pangan yang amat besar. Pasar pangan sebenarnya merupakan potensi untuk memperkuat pertanian. Jika salah penanganan, pasar pangan amat besar itu akan dimanfaatkan dengan baik sebagai pasar yang empuk oleh produsen pangan dari luar. Pasar domestik memang telah menjadi potensi yang luarbiasa bagi produsen pangan, termasuk jagung dan kedelai dari luar negeri. Apalagi mengingat harga jagung dan kedelai impor masuk dengan harga murah. Siswono menegaskan, impor dirangsang oleh pertama, kebutuhan dalam negeri yang amat besar; kedua, harga di pasar international yang rendah, ketiga, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi; dan keempat, adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Bahkan ditengarai produk-produk itu masuk dengan cara dumping. Pembuktian adanya dumping ini dilansir oleh Institutet for Agriculture and Trade Policy (IATP) yang bermarkas di Minnesota, Amerika Serikat. Selain jagung dan kedelai, produk yang juga didumping adalah gandum, beras dan kapas. Kelima komoditas ini diekspor dengan harga di bawah biaya produksi. Siswono menambahkan, akibat tekanan dari negara-negara eksportir kedelai dan jagung berupa penyediaan kredit ekspor, sejak 10 tahun terakhir produksi kedelai dan jagung mengalami penurunan.

Di lain pihak, petani Indonesia justru tidak memperoleh kebijakan yang nyata terhadap keberpihakan terhadap petani. Padahal kedua komoditi ini masuk dalam skema proteksi dari perdagangan bebas. ?Agar pembangunan pertanian memiliki arah yang jelas, negara perlu menetapkan politik pertanian yaitu keputusan sangat mendasar di bidang pertanian pada tingkat negara, yang menjadi arah ke depan, untuk menjadi acuan semua pihak yang terlibat, dengan sasaran membangun kemandirian di bidang pangan,? Ujar Siswono.

Produksi Menurun
Kedelai, menunjukkan penyusutan lahan dan produksi. Pada 2000 luas lahan 824.484 ha kemudian turun menjadi 678.848 ha pada 2001 dan menyusut lagi pada 2002 menjadi 544.522 ha tahun 20002. Seiring dengan penyempitan lahan, juga produksi anjlok. Tercatat produksi kedelai pada 2000 mencapai kisaran 1 juta ton dan tahun 2001 sebanyak 827 ribu ton dan pada 2002 hanya bisa sebesar 573 ribu ton. Kacang kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe dan kecap dan susu. Jenis industri yang tergolong skala kecil - menengah ini tetapi dalam jumlah sangat banyak menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai. Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk industri rumahan seperti tahu, tempe yang jenis makanan ini semakin banyak atau popular digunakan sebagai pengganti daging. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi jagung pada 2002 mengalami kenaikan sementara kedelai mengalami penurunan. Produksi jagung tahun 2002 naik sebesar 3,28 persen atau 0,31 juta ton pipilan kering, dari 9,35 juta ton pipilan kering tahun 2001 menjadi 9,65 juta ton pipilan kering tahun 2002. Tetapi kenaikan produksi jagung ini tidak diikuti dengan naiknya luas panen jagung tahun 2002 yang malah mengalami penurunan.
Penurunan luas panen jagung diperkirakan sebesar 4,84 persen. Berbeda dengan produksi jagung, untuk produksi kedelai tahun 2002 sebaliknya malah mengalami penurunan sebesar 18,61 persen. Dari 0,83 juta ton biji kering pada 2001 menjadi 0,67 juta ton biji kering di tahun 2001. Atau mengalami penurunan sebesar 0,15 juta ton biji kering. Penurunan ini karena turunnya luas panen kedelai sekitar 19,79 persen atau 0,13 juta hektare. Departemen Pertanian selalu mengusung angka produksi jagung sekitar 9 juta ton lebih. Produksi jagung tertinggi terjadi tahun 1998 sebanyak 10,1 juta ton dari luas areal panen 3,8 juta ha. Tapi, di tengah produksi yang cukup tinggi tersebut, kebutuhan industri pakan ternak ternyata justru dipasok dari impor. Industri pakan membutuhkan setiap tahun 3,5 juta ton jagung dari jumlah produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan 2 juta ton dan 1,5 juta ton merupakan impor. Kebutuhan untuk pangan hanya berkisar 0,5 juta ton.

Konsumen jagung terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri pakan ternak. Bahan baku pakan ternak 50 persen adalah jagung. Seiring membaiknya
kehidupan ekonomi ekuivalen dengan peningkatan konsumsi protein hewani,maka bertumbuhnya industri pakan menuntut penyediaan jagung yang semakin besar. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMT), Budiarto Soebijanto menegaskan, pihaknya tidak akan mau impor kalau produksi nasional bisa mencukupi. Selain kualitas lebih bagus, harga impor juga malah justru lebih mahal dari produk lokal. Dia menepis tudingan yang menyebutkan apabila jagung impor lebih murah. Bahkan demikian tingginya harga jagung dari AS, pengusaha kini mengalihkan sebagian impornya dari Cina. Harga impor dari Cina US$125/ton, sedangkan dari AS mencapai US$130/ton. ?Kalau ada produksi di dalam negeri buat apa impor. Lebih menguntungkan beli di dalam negeri dari impor. Selain kualitas lebih bagus bisa di beli dengan jumlah sedikit. Sedangkan impor harus beli satu kapal dan bayar pakai dolar lagi,? tegas Budiarto. Dia menekankan, pasokan jagung seluruhnya habis diserap industri pangan maupun pakan ternak. ?Kalau memang berlebih pasti ada tumpukan jagung. Sekarang, buktikan di mana ada tumpukan itu,? ujarnya. Untuk meningkatkan produksi, banyak desakan agar mengenakan bea masuk terhadap jagung dan kedelai. Saat ini bea masuk jagung dan kedelai tidak dikenakan sama sekali. Di lain pihak, pemerintah dalam hal ini Depperindag tidak berniat sama sekali untuk mengenakan bea masuk. Karena itu, desakan untuk menaikkan bea masuk tidak mendapat respon. Menurut Rini Soewandi, tanpa bea masuk harga jagung dan kedelai justru sudah baik. Harga kedelai saat ini mencapai kisaran Rp3500/kg dan sudah cukup menguntungkan bagi petani. Sedangkan harga jagung, menurut Budiarto cukup tinggi dan selalu mengikuti harga jagung impor mencapai kisaran Rp1200/kg. Bea masuk bukan program utama pemerintah untuk menaikkan pemasukan negara tapi lewat pajak dan bea cukai. Bea masuk hanya alat stabilisasi harga. Harga saat ini sudah bisa merangsang petani untuk menanam lebih banyak lagi,? ujar Menperindag.

Semangat petani untuk meningkatkan produksi harus diakui sangat besar. Namun, keberpihakan pemerintah terhadap petani juga harus ada. Apabila instrumen itu tidak ada target swasembada kedelai dan jagung rasanya masih jauh dari harapan atau masih sebatas impian.
(SH/naomi siagian)



http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1015/ind1.html

Impor beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1998 yang mencapai 5,8 juta ton. Kondisi ini mewarnai krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dimana produksi beras nasional turun yang antara lain karena kekeringan panjang. Pada komoditi jagung meskipun pada tahun 1996 terjadi penurunan produksi, namun pada tahun 1998 justru terjadi surplus (ekspor) meskipun hanya kecil. Hal ini diduga karena banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan tidur untuk komoditas jagung. Namun pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini produksi jagung cenderung turun dan impor semakin besar (lebih dari 2 juta ton/tahun).

Produksi kedelai nasional tampak mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena membanjirnya Impor akibat fasilitas GSM 102, kredit Impor dan ?Triple C? dari negara importir yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Akibat kebijakan di atas harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya pada harga kedelai petani tidak bisa bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani kedelai tidak terlindungi.
http://www.nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/ketahanan_pangan.php
















Produksi Pertanian Organik Indonesia Tumbuh 10% Per Tahun
Ani Purwati, Berita Bumi, 4 Nov 2004 00:55

Produksi pertanian organik Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10% per tahun. Demikian pendapat Indro Surono peneliti Elsspat dan Biocert pada beritabumi.or.id akhir Juli 2004 lalu.

"Perkembangan produksi dan pemasaran produk pertanian organik di Indonesia cukup pesat. Perkembangannya ditandai dengan semakin banyaknya supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif di berbagai kota yang menjual produk organik," ungkap Surono.

Perkembangan juga tergambar dari semakin banyak organisasi nonpemerintah pendamping petani yang mengembangkan pertanian organik, kelompok petani atau perusahaan swasta yang bergerak di pertanian organik.

Ada beberapa jaringan atau organisasi nasional yang peduli pada pengembangan pertanian organik. Di antaranya Jaringan Kerja Pertanian Organik Indonesia (Jaker PO) yang diprakarsai, dilahirkan oleh organisasi nonpemerintah, Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina).

Produk pertanian organik Indonesia hampir semuanya adalah produk pertanian belum diolah (fresh product). Beberapa produk pertanian organik olahan yang berasal dari bahan/tanaman organik jumlahnya yang sangat sedikit.

Sebagai contoh, kosmetik organik (sabun, shampo, minyak wangi), saos tomat dan sirup organik. Saos tomat dan sirup organik yang diprduksi Bali Asli di Denpasar, Bali, jumlahnya masih terbatas dan hanya dijual di hotel-hotel di Bali.

Di negara maju selain produk segar seperti buah dan beras, produk olahan organik sudah meluas seperti kopi, teh, kosmetika, pakaian, dan bahkan bola golf organik.

"Sebenarnya permintaan produk pangan organik atau olahannya untuk industri seperti minyak atsiri, kopra, rempah-rempah, sangat tinggi. Permintaan datang dari Belanda, Swedia, Singapura dan Jepang. Hanya saja permintaan itu belum bisa dipenuhi oleh produsen nasional," ungkap Surono.

Pasar domestik produk organik masih terpusat di kota-kota besar, khususnya di Jawa dan di kalangan kelas menengah ke atas. Tetapi tingkat konsumsi sebenarnya, lebih banyak produk organik yang dikonsumsi di desa atau tidak diperdagangkan antarkota.

Menurut Surono pertanian organik berpeluang berkembang dengan baik kedepan karena pertama, adanya kritik terhadap asupan kimia yang menyebabkan terjadi degradasi lingkungan pertanian membawa pada praktek bertani ke arah organik. Kedua, kesadaran konsumen untuk memperoleh produk yang sehat dan ramah lingkungan juga semakin tinggi.

Ketiga, peluang ekspor produk organik juga besar karena tingginya permintaan dari Negara maju. Keempat, ada peluang untuk meningkatkan pendapatan petani karena produk pertanian organik menghemat biaya produksi dan harga jualnya di atas produk pertanian konvensional.

"Bahkan, jika bicara wild harvest product, banyak daerah di Indonesia yang produknya dapat dikategorikan sebagai organik, terutama hasil hutan nonkayu seperti madu, rempah-rempah, kayu manis dan lain-lain. Hanya saja produk tersebut belum dikelola menurut manajemen organik," kata Surono.

Sekarang produk organik asal Indonesia yang terkenal adalah produk tanaman keras seperti kopi, vanili dan rempah-rempah yang kebanyakan dihasilkan dari daerah wild harvested.

Sampai sekarang, kata Surono, belum ada data resmi luas lahan organik di Indonesia dari pemerintah. Dalam buku “The World of Organic Agriculture, Statistic and Emerging Trends 2004” karangan Helgar Willer dan Minou Yussefi, yang dipublikasikan oleh IFOAM disebutkan luas lahan yang ditangani (under management) secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha (0,09% dari total lahan pertanian). Indonesia berada di peringkat ke-37 dunia.

Anton Waspo, Direktur Eksekutif Elsppat, mengatakan ada kemungkinan perkembangan pertanian organik menuju lebih baik melalui upaya pengembangan bersama. Sekarang pemerintah sedang membangun proses pengembangannya setelah penandatanganan MOU dengan pemerintah Swiss dalam bantuan teknis pengembangan pertanian organik di Indonesia.










http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/sdl/hasil_inventarisasi_lahan_kritis.htm

Luas Lahan Kering Menurut Penggunaannya, 1995 - 1998
(Ha)
No. Jenis Lahan Tahun/Year
1995 1996 1997 1998
1 Pekarangan/Lahan Bangunan
dan Halaman Sekitarnya
Sumatera 1.833.644 1.882.161 1.842.653 1.966.459
Jawa 1.739.947 1.783.640 1.807.384 1.841.781
Bali dan Nusa Tenggara 191.242 193.789 199.641 219.792
Kalimantan 973.359 992.971 1.031.868 1.025.299
Sulawesi 417.230 438.814 449.943 463.109
2 Tegal/Kebun/Ladang/Huma
Sumatera 4.267.027 4.319.296 4.295.702 4.524.888
Jawa 3.057.667 3.071.234 3.069.259 3.113.773
Bali dan Nusa Tenggara 821.570 820.483 839.073 891.391
Kalimantan 1.562.066 1.666.050 1.683.377 1.587.357
Sulawesi 1.660.177 1.685.749 1.720.783 1.698.508
3 Padang Rumput
Sumatera 561.300 555.372 595.402 565.144
Jawa 44.685 42.111 42.144 41.001
Bali dan Nusa Tenggara 530.808 575.226 582.798 580.289
Kalimantan 265.570 280.471 338.092 334.494
Sulawesi 487.036 499.905 497.896 496.044
4 Rawa-Rawa
Sumatera 1.657.150 1.650.532 1.643.849 1.555.279
Jawa 22.958 21.952 21.804 31.643
Bali dan Nusa Tenggara 4.599 4.757 3.315 3.394
Kalimantan 1.970.524 2.266.601 2.370.929 2.442.539
Sulawesi 227.788 229.088 230.618 235.846
5 Tambak/Kolam/Tebat/Empang/
Sumatera 237.015 245.108 256.806 269.402
Jawa 154.089 163.854 166.765 165.445
Bali dan Nusa Tenggara 14.103 14.495 13.256 15.084
Kalimantan 58.350 50.887 48.961 47.550
Sulawesi 141.163 148.016 150.193 152.211
6 Lahan yang Sementara Tidak
Diusahakan
Sumatera 2.206.796 2.259.949 2.507.488 2.463.373
Jawa 74.210 66.457 64.297 63.285
Bali dan Nusa Tenggara 671.686 802.944 775.107 760.375
Kalimantan 2.830.170 2.951.346 2.966.166 3.199.515
Sulawesi 1.185.076 1.254.890 1.264.851 1.233.709
7 Lainnya
Sumatera 11.622.308 12.009.370 11.836.632 12.403.717
Jawa 972.520 985.985 988.398 1.008.060
Bali dan Nusa Tenggara 1.048.591 1.169.850 1.155.933 1.256.732
Kalimantan 6.500.490 6.438.691 6.648.404 7.322.571
Sulawesi 3.246.847 3.330.589 3.520.268 3.542.302
Total 53.259.761 54.872.633 55.630.055 57.521.361
Sumber : Luas Lahan Menurut Penggunaannya, Badan Pusat Statistik
Keterangan : 1) Termasuk lahan tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat dan perkebunan negara/swasta


















Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan, 1995 - 1998
(Ha)
No. Jenis Pengairan Tahun
1995 1996 1997 1998
1 Teknis
Sumatera 281.854 285.077 279.602 320.860
Jawa 1.512.374 1.503.702 1.499.627 1.508.869
Bali dan Nusa Tenggara 60.494 87.263 65.497 69.772
Kalimantan 10.241 13.438 15.616 29.164
Sulawesi 232.237 246.235 249.839 249.492
2 Setengah Teknis
Sumatera 248.709 266.284 281.959 269.462
Jawa 391.776 402.770 398.634 384.253
Bali dan Nusa Tenggara 164.475 140.126 168.173 168.141
Kalimantan 14.885 22.019 22.385 18.405
Sulawesi 97.048 103.645 110.571 115.389
3 Sederhana/Desa
Sumatera 518.704 511.351 498.367 483.656
Jawa 657.543 659.737 651.815 643.381
Bali dan Nusa Tenggara 93.531 93.597 95.754 92.526
Kalimantan 152.660 165.755 168.645 165.664
Sulawesi 251.207 259.154 264.156 265.418
4 Tadah Hujan
Sumatera 576.189 608.742 637.521 628.727
Jawa 796.868 772.741 774.949 775.855
Bali dan Nusa Tenggara 54.263 56.837 61.655 63.103
Kalimantan 376.460 361.060 371.200 364.898
Sulawesi 297.903 289.005 278.392 282.111
5 Pasang Surut
Sumatera 261.648 281.696 297.795 299.293
Jawa 1.953 656 1.531 1.445
Bali dan Nusa Tenggara 155 21 31 1.105
Kalimantan 288.248 293.191 297.032 327.660
Sulawesi 2.247 2.149 3.123 3.113
6 Lainnya
Sumatera 526.345 484.206 435.045 446.549
Jawa 2.293 2.493 2.690 2.088
Bali dan Nusa Tenggara 20.906 21.045 6.520 7.018
Kalimantan 529.793 541.753 517.298 482.961
Sulawesi 61.678 43.362 34.622 34.539
Total 8.484.687 8.519.110 8.490.044 8.504.917
Sumber : Luas Lahan Menurut Penggunaannya, Badan Pusat Statistik


Luas Penggunaan Lahan di Indonesia, 1995 - 1998
(Ha)
No. Jenis Lahan Tahun
1995 1996 1997 1998
1 Sawah 8.484.687 8.519.110 8.490.044 8.504.917
2 Pekarangan/Lahan Bangunan dan Halaman Sekitarnya 5.155.422 5.291.375 5.331.489 5.516.440
3 Tegal/Kebun 8.244.882 8.383.599 8.382.311 8.568.675
4 Ladang/Huma 3.123.625 3.179.213 3.225.883 3.247.242
5 Padang Rumput 1.889.399 1.953.085 2.056.332 2.016.972
6 Rawa-rawa 3.883.019 4.172.930 4.270.515 4.268.701
7 Tambak 422.564 438.500 467.265 481.315
8 Kolam/Tebat/Empang 182.156 183.860 168.716 168.377
9 Lahan yang Sementara Tidak Diusahakan 6.967.938 7.335.586 7.577.909 7.720.257
10 Lahan Tanaman Kayu-kayuan 9.555.010 9.446.070 9.133.621 9.072.416
11 Perkebunan Negara 13.835.746 14.488.415 15.016.014 16.460.966
Total 61.744.448 63.391.743 64.120.099 66.026.278
Sumber : Luas Lahan Menurut Penggunaannya, Badan Pusat Statistik





Rekapitulasi Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian
TA. 1981/1982 s/d TA. 1999/2000 *)
No. Propinsi Perubahan lahan sawah ke non sawah (Ha)
Pemukiman Industri Tanah Kering Perkebunan Semak
Belukar Tanah Kosong Perairan/Kolam Lain-lain Jumlah
1 D.I. Aceh - - - - - - - - -
2 Sumatera Utara - - - - - - - - -
3 Sumatera Barat 495,57 22,21 12,00 392,00 0,00 0,00 0,00 610,00 1.531,78
4 Riau - - - - - - - - -
5 Jambi - - - - - - - - -
6 Bengkulu - - - - - - - - -
7 Sumatera Selatan 61,28 - - - 105,00 11,50 - - 77,78
8 Lampung 4.221,00 197,00 - - - - - 463,00 4.881,00
9 Jawa Barat 15.847,00 10.771,00 8.080,99 6.952,00 5,00 55,00 1.248,82 6.809,00 49.768,81
10 Jawa Tengah 19.739,00 1.785,00 24.776,98 - - - 1.329,22 8.350,00 55.980,20
11 D.I. Yogyakarta 2.666,45 174,45 1.423,30 1.338,00 - 8,33 20,71 1.650,02 281,26
12 Jawa Timur 20.872,87 2.870,42 14.177,67 51.577,00 - 30,23 6.316,25 10.626,90 06.471,34
13 Bali 2.626,81 677,00 2.169,22 962,60 - - 29,23 4.591,14 11.056,00
14 NTB 13,72 - - - - - - 334,00 487,72
15 NTT - - - - - - - -
16 Kalimantan Barat - - - - - - - - -
17 Kalimantan Timur - - - - - - - - -
18 Kalimantan Selatan 4.315,00 1.620,00 - 13,00 - - - - 5.948,00
19 Kalimantan Tengah - - - - - - - - -
20 Sulawesi Selatan 2.123,74 145,30 - 365,25 - - 50,00 435,42 3.119,71
21 Sulawesi Tenggara - - - - - - - - -
22 Sulawesi Tengah 11,68 - - - - 1,60 10,00 15,75 39,03
23 Sulawesi Utara - - - - - - - - -
24 Irian Jaya - - - - - - - - -
25 Maluku - - - - - - - - -
Jumlah 73.134,12 18.262,38 50.640,16 61.599,85 110,00 106,66 9.004,23 33.885,23 246.742,63
Persentase 29,64 7,40 20,52 24,97 0,04 0,04 3,65 13,73 100,00
Keterangan: *) merupakan hasil tabulasi dari dua sumber yaitu :
- Hasil survei Direktorat Perluasan Areal dengan PT. Indeco TA. 1992 untuk TA 1981/1982 s/d 1985/1986
- Data BPN TA 1998/1999 untuk TA 1988/1999 s/d 1999/2000




















Rekapitulasi Lahan Tidur (Lahan yang sementara belum dimanfaatkan)
Untuk Pertanian, Perumahan, Industri, Jasa dan Lain-lain.
No. Propinsi Lahan Tidur (Ha) Total Luas
(Ha)
Pertanian Perumahan Industri Jasa Lain-lain
1 D.I. Aceh 43.135,40 - - - - 43.135,40
2 Sumatera Utara 15.675,50 2.685,52 749,58 255,38 2,29 19.368,27
3 Sumatera Barat 33.566,10 50,66 70,00 0,30 10,00 33.697,06
4 Riau 114.498,50 3.614,06 596,60 72,92 1.027,40 119.809,48
5 Jambi 1.648,35 1.071,25 260,28 9,06 11,92 3.000,86
6 Sumatera Selatan 81.752,23 156,35 1.241,00 850,32 378,89 84.378,79
7 Bengkulu 36.377,83 39,00 - - 135,88 36.552,71
8 Lampung 16.965,25 420,96 96,90 132,80 255,70 17.871,61
9 Jawa Barat 5.233,67 29.032,54 16.061,68 7.794,09 2.733,78 60.855,76
10 DKI. Jakarta - 1.171,33 288,63 166,97 359,11 1.986,04
11 Jawa Tengah 264,32 1.730,56 473,69 49,06 65,30 2.582,93
12 D.I. Yogyakarta 12,69 37,31 1,97 206,26 1,15 259,38
13 Jawa Timur 99,46 7.695,29 1.508,16 563,73 503,52 10.370,16
14 Kalimantan Barat 72.766,49 3.003,00 - - - 75.769,49
15 Kalimantan Tengah 318.044,33 9,40 21,18 4,40 5,00 318.084,31
16 Kalimantan Selatan 57.956,40 55,83 12,87 182,31 2.449,90 60.657,31
17 Kalimantan Timur - 1.085,21 749,84 64,46 - 1.899,51
18 Sulawesi Utara 1.275,00 140,07 432,21 1.375,19 243,15 3.465,62
19 Sulawesi Tengah 49.073,45 905,56 - - 40,00 50.019,01
20 Sulawesi Tenggara 26.550,00 176,16 5,00 22,33 3,64 26.757,13
21 Sulawesi Selatan 11.003,09 329,39 68,59 324,99 124,15 11.850,21
22 Bali - 33,74 - 767,89 252,67 1.054,30
23 NTT 8.334,27 35,94 303,01 2.084,39 609,93 11.367,54
24 NTB 43,26 260,03 229,37 82,85 220,28 835,79
25 Maluku 11.188,71 381,48 511,14 26,05 85,00 12.192,38
26 Irian Jaya 120.660,50 3.190,39 306,00 13,38 27,50 124.197,77
Jumlah 1.026.124,80 57.311,03 23.987,70 15.049,13 9.546,16 1.132.018,82
Sumber Data : Badan Pertanahan Nasional (1998)

















Hasil Inventarisasi Lahan Kritis Pada Lahan Kawasan lahan Budidaya Pertanian *)
No Propinsi Luas Lahan Kritis Total Luas
(Ha)
Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis
1 D.I. Aceh 5.777,00 320.248,13 96.738,29 437.896,51 860.659,93
2 Sumatera Utara - 70.680,00 217.349,00 134.812,00 594.157,54
3 Sumatera Barat - - - - 112.304
4 Riau - 254.822,00 861.669,00 3.445.625,00 4.562.116
5 Jambi - - - - 544.100,64
6 Sumatera Selatan - - - - 2.278.661
7 Bengkulu 160.563,00 339.256,00 286.319,00 259.221,00 1.045.359
8 Lampung - - - - 152.885,15
9 Jawa Barat - - - - 362.827,97
10 Jawa Tengah 37.432,00 223.954,00 327.368,00 293.836,00 982.920,50
11 D.I. Yogyakarta 18.160,00 15.758,00 42.051,00 46.484,00 122.453
12 Jawa Timur - - - - 953.211,31
13 Kalimantan Barat - - - - 1.811.003,87
14 Kalimantan Tengah - - - - 1.708.181
15 Kalimantan Selatan - - - - 221.602
16 Kalimantan Timur - - - - 824.968
17 Sulawesi Utara - - - - 318.861
18 Sulawesi Tengah - - - - 153.151,49
19 Sulawesi Tenggara - - - - 188.059
20 Sulawesi Selatan - - - - 451.505,30
21 Bali 1.675,00 21.797,00 61.413,00 94.611,00 179.496
22 NTT - - - - 1.057.466
23 NTB - - - - 224.177
24 Maluku - - - - 514.875
25 Irian Jaya - - - - 1.719.594
Jumlah 223.607,00 1.246.515,13 1.892.907,29 4.712.485,51 21.944.595,70
Keterangan : Total luas yang tidak terbagi dalam 4 kriteria lahan kritis,
digolongkan ke dalam Lahan kritis sampai dengan lahan sangat kritis
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sumber : Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 2000










LUAS LAHAN SAWAH IRIGASI DI INDONESIA
TAHUN 2001 (HA)

Propinsi Teknis Setengah Sederhana/ Tadah Pasang Lainnya Total
Teknis Desa Hujan Surut
Nanggroe Aceh Darussalam 57,996 55,899 83,331 89,540 525 1,283 288,574
Sumatera Utara 70,774 80,247 144,485 160,100 28,589 40,454 524,649
Sumatera Barat 37,619 53,179 91,558 47,260 - 25 229,641
Riau - 7,978 28,663 43,461 28,521 3,312 111,935
Jambi 3,483 9,929 25,505 15,895 61,154 25,279 141,245
Sumatera Selatan 26,296 11,307 39,829 85,839 125,156 151,241 439,668
Bengkulu 18,101 20,649 17,710 15,251 73 11,329 83,113
Lampung 98,887 27,979 41,579 71,785 23,719 14,186 278,135
Bangka Belitung - 640 311 28 - - 979
Sumatera 313,156 267,807 472,971 529,159 267,737 247,109 2,097,939

Daerah Khusus Ibukota Jakarta 860 656 995 355 - - 2,866
Jawa Barat 399,138 119,253 261,570 143,833 - 1,077 924,871
Jawa Tengah 382,897 123,098 210,402 273,185 238 1,431 991,251
Daerah Istimewa Yogyakarta 18,040 23,908 6,556 10,038 - - 58,542
Jawa Timur 674,127 117,788 123,014 241,693 178 2,792 1,159,592
Banten 57,231 15,425 39,685 89,560 - 145 202,046
Jawa 1,532,293 400,128 642,222 758,664 416 5,445 3,339,168

Bali 375 70,004 14,481 659 - 6 85,525
Nusa Tenggara Barat 70,203 76,281 35,683 32,390 19 - 214,576
Nusa Tenggara Timur 14,000 22,179 44,975 32,060 14 48 113,276
Bali & Nusa Tenggara 84,578 168,464 95,139 65,109 33 54 413,377

Kalimantan Barat 162 9,573 78,124 106,566 82,755 9,833 287,013
Kalimantan Tengah 2,832 13,673 53,357 25,046 86,445 1,203 182,556
Kalimantan Selatan 21,649 4,064 28,444 134,355 146,628 80,688 415,828
Kalimantan Timur - 1,599 31,883 56,605 14,522 2,159 106,768
Kalimantan 24,643 28,909 191,808 322,572 330,350 93,883 992,165

Sulawesi Utara 18,911 15,101 13,935 13,058 100 100 61,205
Sulawesi Tengah 48,113 28,464 35,897 13,818 1,331 400 128,023
Sulawesi Selatan 191,969 52,939 163,958 251,717 690 - 661,273
Sulawesi Tenggara 23,544 13,758 21,449 4,827 176 321 64,075
Gorontalo 7,090 6,157 3,512 5,709 25 15 22,508
Sulawesi 289,627 116,419 238,751 289,129 2,322 836 937,084

Maluku - - - - - - -
Papua - - - - - - -
Maluku & Papua - - - - - - -

Luar Jawa 712,004 581,599 998,669 1,205,969 600,442 341,882 4,440,565

Indonesia 4,488,594 1,963,454 3,281,782 3,929,266 1,201,716 694,654 15,559,466

Tuesday, October 6, 2009

Dunia Livelihood

http://www.dunialivelihood.blogspot.com adalah merupakan salah satu blog yang tergabung dalam yanuarmangulo.blogspot.com.
Livelihood (istilah bahasa inggris ) dalam bahasa indonesianya Livelihood adalah Mata Pencaharian yang artinya kegiatan meliputi Mata Pencaharian hidup Masyarakat. Blog Dunia Livelihood telah mendapat perhatian yang sangat serius karena bidang ini merupakan prasyarat dari keberlanjutan (sustainability ) suatu usaha atau kegiatan .
Editor berharap pada blog Dunia Livelihood ini dapat mengurai dengan jelas keunggulan dan persoalan klasik bidang Livelihood sekaligus bermanfaat sebagai refferensi praktek , pada blog ini hendaknya dapat disuguhkan berbagai pola Livelihood kemasyarakatan yang umum ataupun khusus yang relevant dengan tempat dan zaman sekarang ini.